Oleh: Erfan Ma’ruf (Mahasiswa Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Penggiat Kajian Piush, Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa Islam)
Ditetapkannya Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Penyandang Disabilitas pada Maret lalu menjadi angin segar bagi masyarakat penyandang difabel yang sudah lama nyaris kehilangan haknya sebagai warga negara untuk memperoleh hak yang sama. Cita-cita sekaligus dasar hukum bangsa ini “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Kata keadilan diatas dapat kita artikan sebagai sebuah persamaan sebagai masyarakat Indonesia untuk mendapatkan hak yang adil sesuai kebutuhan baik dalam bidang ekonomi, politik, hukum, pendidikan dan lain sebagainya. Semua rakyat Indonesia mendapatkan hak yang sama, termasuk kaum difabel yang selama ini masih minim perhatian.
Mengutip Iris Marison Young, ada lima aspek dalam penindasan terhadap kaum difabel yang sampai saat ini masih akrab kita lihat, ekploitatif, marginalisasi, pelemahan, imperialisme kultur dan kekerasan. Kalsifikasi kelima di atas yang paling sering kita lihat ialah fenomena marginalisasi pendidikan kepada kaum difabel.
Marginalisasi pemerintah terhadap kaum difabel terlihat sangat mencolok pada fasilitas dan sistem pendidikan yang selama ini hanya diperuntukkan oleh sekelompok orang yang ‘normal’ tanpa melihat kekurangan orang lain. Dominasi itu terlihat mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT).
Infrastruktur yang dianggap sebagai faktor utama yang mendukung dan memudahkan seseorang untuk mencapai tujuan harus dibagi secara tanpa ada diskriminasi. Akan tetapi dalam banyak kenyataan penyediaan infrastruktur bagi kaum difabel sering terabaikan, sehingga tidak sedikit kaum difabel terlambat mengejar atas ketinggalannya. Dampak yang berkelanjutan, penyandang difabel tetap terisolasi.
Misalnya, beberapa laporan dari daerah mengenai Ujian Nasional (UN) tahun ini, tidak adanya fasilitas peserta yang mempunyai kebutuhan khusus. Para peyandang tuna netra yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal ujian kerena tidak adanya soal UN yang berbentuk braille. Hal itu menjadi kendala peserta tuna netra untuk mengerjakan soal dan memberi pekerjaan ganda pada pengawas ujian karena harus membacakan.
Tidak berhenti disitu, suasana kurang mendukung juga terlahat pada pasca kelulusan siswa dan beranjak masuk ke perguruan tinggi. Suasana tidak nyaman juga dirasakan oleh calon mahasiswa difabel, ia merasakan tidak nyamanan dalam menajalankan ujian kerana fasilitas yang tidak memedai, sehingga pada akhirnya sangat sulit bagi kaum difabel masuk dalam perguruan tinggi favorit.
Belum lagi kondisi perguruan tinggi juga tidak mendukung bagi mahsiswa difabel. Banyak fasilitas umum yang tidak memihak kepadanya misal, ribuan buku yang tertumpuk di perpustakaan hanya bisa dibaca dalam dan dinikmati oleh mahasiswa yang bisa melihat dengan normal. Fasilitas itu tidak bisa dinikamati oleh kaum difabel yang membutuhkan buku yang bisa didengar. Sehingga masih banyak fasilitas dan sistem pendidikan yang belum sesuai yang menghantui pendidikan kaum difabel.
RUU diatas haruslah memberi pandangan baru pada penyadaran yang telah lama acuh pada penyandang difabel di lingkungan sekitar untuk lebih aktif melihat dan peduli pada realitas lingkungan. Lebih menarik lagi, jika kukuatan partisipasi politik masyarakat, akademisi kampus fokus terhadap isu-isu kemunisaan seperti difabel.
Kekuatan masyarakat itu akan semakin terdorong oleh adanya keprihatinan universal atas masalah-masalah kemanusiaan, seperti masalah kaum difabel. Karena itu, kaitan kehadiran kekuatan itu lebih banyak ditentukan oleh berbagai hal pokok diantaranya adanya realitas keprihatinan kemanusiaan di Indonesia dan adanya intelekual, LSM dan Lembaga Kemanusiaan yang memiliki visi yang sama.
Pemahaman kita harus dikembalikan pada kedudukan manusia lahir dibumi adalah sama, manusia lahir di bumi dengan kondisi apapun merupakan kodrat yang turun langsung dari Tuhan. Manusia lahir tidak bisa memilih lahir dari rahim orang kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, begitu pula lahir dalam kondisi difabel atau ‘sempurna’. Semua itu sudah ditentukan dan tertulis oleh Tuhan yang tidak bisa dirubah, walaupun ada usaha-usaha manusia untuk perbaikan. Sistem kesetaraan manusia untuk mencapai sebuah keadilan sosial tanpa melihat suku ras, atau kondisi sosial, semuanya berhak mendapatkan kesamaan bidang hukum, Sosial, politik, infrastruk publik, pendidikan dan lain-lain.
Kemunculan semangat pembaharuan atau pembangunan terhadap isu-isu kemanusia merupakan reaksi terhadap situasi yang telah lama enggan memperhatikan. Oleh karena itu, agar supaya bisa dilaksanakan dengan baik mau tidak mau, harus diadakan perombakan pemahaman kepada setiap masyarakat yang bisa dimulai melalui institusi-institusi pemerintahan negara. (*)