Oleh: Alawi Al-Bantan, Guru dan pegiat Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia
Seorang profesor dari Universitas Stanford, Carol Dweck, pernah meneliti orang-orang yang berparadigma maju dan berparadigma tetap atau jalan di tempat. Mereka yang berparadigma tetap, kebanyakan orang yang justru cukup cerdas di masalalunya, memiliki rapor yang bagus, bahkan predikat ranking yang selalu teratas.
Dengan itu mereka memupuk watak dan tabiat yang selalu membuatnya cemas bila melihat saingannya menanjak naik. Bahkan merasa takut seandainya sang pesaing berpotensi untuk mengejar dirinya. Karena dalam logika mereka yang berparadigma tetap, sebuah prestasi hanya berhak bagi dirinya, dan tidak berhak bagi orang lain. Apalagi sang pesaing mampu melakukan hal-hal besar yang dulu dianggap mustahil ia lakukan.
Musuh-musuh perubahan, atau para penjegal aktor perubahan, pada umumnya bukanlah orang-orang bodoh yang ber-IQ rendah. Tidak sedikit yang kualitas intelektualnya bagus, mampu berwacana bahkan mengkritik orang dengan bahasa yang lugas dan lantang. Meskipun seringkali mereka lupa bahwa tidak semua orang cerdas akan selamanya cerdas, begitu juga orang bodoh tentu tidak akan selamanya bodoh.
Dalam Alquran dijelaskan bahwa hakikat ilmu adalah anugerah Allah, sedangkan kecerdasan-Nya melampaui setiap kecerdasan makhluk-makhluk-Nya. Kapasitas memori dalam otak manusia yang mencapai 30 hingga 70 triliun giga, tak lain merupakan ciptaan Allah Yang berkuasa mutlak untuk menjaga dan merawatnya. Jika Allah menghendaki memori itu hilang dari otak manusia, mudah saja manusia dihinggapi amnesia, hilang ingatan, pikun, bagaikan fail-fail komputer yang rusak atau terserang virus.
Menjadi Lebih Baik
Berusaha memberpaiki diri agar hidup lebih baik (atta’ib) adalah perbuatan mulia di mata Allah, ketimbang orang yang selalu ingin dipandang “mulia” oleh orang lain. Tipikal yang kedua ini sangat marak di era revolusi digital ini, hingga kita mengenal kata-kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang akhir-akhir ini menyebar luas di medsos, dan diartikan oleh beragam penafsiran:
“Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, mereka yang sudah menyukaimu tidak membutuhkan itu. Sedangkan yang membencimu, pasti tetap tidak percaya.”
Dalam kasus yang berbeda – meskipun esensinya sama – Nabi Muhammad pernah ditegur langsung oleh Allah Swt, khususnya ketika beliau tidak menghiraukan Abdullah bin Ummi Maktum, seorang buta berpakaian compang-camping menanyakan sesuatu, namun Muhammad justru lebih mementingkan para pembesar Qurays yang sedang diberinya tausiyah. Pada surat Abasa(bermuka masam) secara eksplisit disampaikan teguran kepada Muhammad bahwa tugasnya semata-mata menyampaikan risalah (peringatan). Tidak ada kerugian baginya seandainya pembesar Qurays itu tetap menolak seruannya. Sedangkan orang buta yang bergegas ingin mencari solusi atas apa yang dipertanyakan, justru dikesampingkan.
Teguran keras yang disampaikan Allah dalam surat Abasa sekaligus mengandung peringatan kepada manusia bahwa menjadi orang baik, atau mengajak orang di jalan kebaikan – meskipun dia seorang gembel atau gelandangan – jauh lebih mulia ketimbang kita membiarkannya dalam kebodohan dan kesesatan. Seringkali karena manusia ingin dipandang “hebat” lantas merasa puas apabila berhasil membawa misi dakwah di kalangan kelas atas. Padahal sesuatu yang kita anggap kecil dan sepele, boleh jadi bermakna besar dan agung dalam pandangan Allah Swt.
Hal inilah yang sering diperingatkan oleh K.H. Rifa’i Arief, pendiri ponpes Daar el-Qolam (dalam buku Revolusi Dunia Pesantren), bahwa, meskipun kita menjadi guru atau pengajar di tempat terpencil di daerah Baduy, dan hanya memiliki satu atau dua murid di kelas, jangan sampai kita patah arang dalam mengamalkan ilmu. Tetaplah dan teruslah mengajar dan mendidik umat. Karena Allah Maha Tahu amal-amal jariyah kita, dan Allah Maha Mengatur segala efek positif dari apa yang kita ajarkan kepada satu orang murid sekalipun.
Kualitas keikhlasan manusia akan senantiasa diuji, seberapa kuat dan tabah ia menghadapi ujian yang diosodorkan Tuhan. Bagaimana sikap manusia dalam menghadapi situasi lapang dan sempit. Apakah ia memilih jalan pintas ketika menghadapi ujian kesempitan, ataukah ia bersikap angkuh dan sombong ketika dihadapkan pada ujian kelapangan.
Bahasa dan Logika Agama
“Sama saja bagi mereka, apakah kau (Muhammad) beri peringatan ataukah tidak, mereka tetap saja tidak beriman.” (Yasin: 10)
Membaca satu ayat di atas, tanpa dihubungkan dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya, membuat penafsiran jadi menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh ayat itu sendiri. Bahkan ketika kita percaya pada satu ayat, tanpa dikaitkan dengan ayat lainnya, juga bisa menyesatkan kita. Misalnya ketika Allah berfirman bahwa tak ada artinya kehidupan dunia ini, hanyalah senda-gurau semata. Sedangkan pada surat lain dikatakan, manusia itu adalah pusat dari makrokosmos, bahwa Allah menciptakan manusia dalam wujud yang baik, dan tidak ada yang sia-sia dalam penciptaan setiap makhluk-Nya.
Di sini kita pahami bahwa ayat-ayat Allah bicara dalam logika yang integral dan menyeluruh, tak bisa dipahami sepotong-sepotong. Kadang-kadang seorang laki-laki (suami) mencomot ayat tertentu yang secara politis menguntungkan pihak laki-laki, begitupun pihak perempuan yang mencomot ayat tertentu demi kepentingannya. Mubalig perempuan senang mengutip hadits bahwa surga berada di telapak kaki ibu, sementara mubalig laki-laki menyukai hadits bahwa penghuni neraka terbanyak adalah kaum perempuan. Jika tidak mengacu pada konsep takwa dan keadilan yang mesti diutamakan, masing-masing akan memanfaatkan logika agama secara politis. Tanpa ada kemauan keras untuk mendalami dan menelusuri asal-muasal (asbabunnuzul) untuk mengkajinya secara historis.
Pendangkalan pemikiran pada pemahaman agama ini kerapkali menghinggapi para aktivis Islam sempalan yang meneriakkan yel-yel dengan mengatasnamakan hukum Tuhan di atas segala-galanya (truth claim). Jadi, mereka hanya mengklaim bahwa orang-orang cerdas hanya ada dalam gerombolannya, sedangkan kelompok lain dinilai tidak mumpuni untuk memahami dan menafsirkan ayat-ayat Alquran.
Padahal ayat-ayat Alquran didominasi oleh teks-teks yang butuh penafsiran akan makna yang terkandung di dalamnya (dzanni ad-dalalah).Meskipun tidak sedikit ayat yang sudah memiliki makna jelas (qath’i ad-dalalah), namun tetap masih dibutuhkan tafsir serta perincian tentang pengamalannya.
Pemahaman agama yang dangkal inilah yang menyelimuti otak dari penganut Khawarij, Abdurrahman ibnu Muljam, seorang ekstrimis fanatik, yang ketika ditangkap dan diadili atas pembunuhan Sayyidina Ali, dia melantunkan ayat Alquran yang berbunyi: “Dan di antara manusia, ada orang yang mengorbankan dirinya, karena mencari keridhoan Allah…” (al-Baqarah: 207).
Dengan mencomot ayat yang mendukung ambisi dan obsesinya, melalui pemahaman yang sepotong-sepotong, Ibnu Muljam menganggap bahwa darah Ali bin Abi Thalib adalah halal untuk ditumpahkan. Dalam pada itu Sayyidina Ali menyimpulkan bahwa pergerakan kaum Khawarij seringkali memanfaatkan kata-kata kebenaran, namun untuk tujuan yang tidak benar.
Tepat sekali apa yang disabdakan Rasulullah Saw, seorang ahli ibadah seperti Abdurrahman ibnu Muljam dan para penganut Khawarij, dengan mudah dapat terhapus amal-amalnya oleh karena dendam dan kedengkian yang bersemayam dalam dada, bagaikan api yang menggerogoti kayu bakar. (*)