Paempulan Ne Tonsea adalah organisasi paguyuban masyarakat yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya yang berasal dari daerah asal Tonsea yaitu salah satu sub etnis di Minahasa Sulawesi Utara yang terdiri dari 50 perkumpulan.
“Jadi 50 perkumpulan sebagai sarana keluarga, ya seperti komunitas sekolah, ada pertemanan orang tua dan kerabat. Kita menyepakati untuk melestarikan dan menjaga serta menggali seni budaya Minahasa, khususnya yang hidup di tanah Tonsea,” ujar Sekjen Paimpulan Ne Tonsea, Felix Luntungan, dalam acara “Tonsea Charity Golf” di Emerald Golf, Tapos, Depok, Jawa-barat, Kamis (17/10/2019).
Pelestarian budaya daerah ini, kata Felix, juga untuk menguatkan budaya yang kurang baik di kota metropolitan Jakarta.
“Agar tidak kehilangan arah pada saat kita keluar dari kampung itu rata-rata ‘kan kita punya tujuan positif untuk segala macam. Sehingga kalau kita melihat itu ada titik asal, kita bisa kok, kita masih bener nggak nih arahnya atau bagaimana kalau kita sudah tidak ada patokan itu adat kita akan kehilangan arah,” ujarnya.
Dalam periode 2016- 2020, Tonsea mengusung tagline “Tonsea Berbudaya” yang diaplikasikan di dalam semua kegiatan, yang salah satunya adalah cerita yang sudah dalam seri ketiga. Kenapa seri ketiga? Karena, menurut Felix, seri ketiga ini termasuk angka yang mempunyai makna, di tanah Minahasa hampir semua itu sampai dengan ini ada tiga.
“Sudah tiga kali atau memang kita hanya sampai tiga dalam tagline yang berkaitan dengan budaya yang kali ini kita mengusung adalah mulai dari kolintang dan kali ini adalah maengket. Jadi semua itu ada tujuannya,” ucapnya.
Ia menjelaskan, pada tahun 2013, Tonsea mengusung kolintang sebagai ikon dan di tahun 2017 itu dilaksanakan kegiatan yang namanya pemecahan rekor Muri 245 penari kebesaran mulai dari Bundaran HI sampai ke Monas, Jakarta.
“Kemudian pada saat kita mengusung kolintang itu banyak mendapat dukungan.Karena kolintang itu berasal dari wilayah Tonsea, sehingga masyarakat Tonsea berkewajiban untuk mendukung,” urainya.
Musik Kolintang yang telah di daftarkan di UNESCO pada tahun lalu masih dikalahkan dengan musik gamelan sebagai budaya tak benda yang diakui dunia. Pada tahun 2019 ini rencananya akan dimasukkan kembali ke UNESCO dan diharapkan lolos pada tahun 2023, dimana prosesnya mulai dari Agustus kemarin.
“Tapi nanti diajukan tahun 2023 karena 2021 gamelan yang berhasil masuk. Tahun ini kita menitikberatkan atau menjadi Ikon adalah Maengket, karena maengket juga diupayakan dan sudah mendapatkan warisan budaya tak benda secara nasional. Kita bekerja sama dengan Universitas Sam Ratulangi kemudian Universitas Manado itu berupaya agar supaya itu juga mengikuti jejak yang namanya kolintang menuju pendaftaran ke UNESCO sehingga pelestarian budaya yang menjadi ikon-ikon dan sekaligus juga menjadi daya tarik untuk menambah pendapatan devisa dari sudut Wisata,” jelasnya.
Maengket merupakan tarian rakyat yang berasal dari Minahasa. Maengket dibawakan oleh penari perempuan maupun laki-laki dengan memakai pakaian putih. Tari ini dibawakan oleh penari dalam jumlah banyak, bisa hanya penari perempuan, hanya penari laki-laki atau pun campuran.
Perkumpulan masyarakat Tonsea juga masuk dengan peran desa adat.Jadi ada desa adat dan wisata, namanya program wisata budaya yang terkait dengan Kementerian Pendidikan dan Kementerian Pariwisata.Jadi itulah yang semua muara dari semua yang kita lakukan ini tidak ada kaitan dengan di luar daripada budaya karena yang mempersatukan yang dari 50 perkumpulan tadi itu,” jelas Felix.
Pemerintah Daerah juga mendukung kegiatan ini dengan memperebutkan Piala Gubernur Sulawesi Utara, artinya 15 Kabupaten Kota mendukung raihan piala bergilir sampai tiga kali.
Saat ini, Indonesia itu baru memiliki tujuh budaya yang terdaftar di Unesco yang merupakan warisan budaya tak benda, selain warisan budaya benda seperti hewan Komodo, Candi Borobudur dan beberapa budaya lain di Bali dan Minang yang merupakan warisan budaya benda dan warisan budaya tak benda.
“Nah, tahun ini kalau tidak salah, pantun yang akan di perjuangkan, sehingga mudah-mudahan akhir Desember itu sudah terima pantun. Karena setiap dua tahun sekali pemerintah Indonesia mendaftarkan satu warisan budaya kita itu yang namanya Maengket, Kolintang, kemudian bubur Manado, sambal roa itu juga sudah masuk di warisan budaya tak benda tetapi masih nasional. Untuk internasional kita baru mengusulkan kolintang itu yang paling siap secara administrasi dari tahun 2013. Karena kalau kita dan Tonsea ini memiliki andil yang sangat signifikan di dalam proses pendaftaran seni adat budaya di Kementerian khususnya di balai pelestarian nilai-nilai budaya,” terang Felix.
Sementara itu, Kapten Pertandingan dalam acara Golf Charity Tonsea, Tonny Mandagi, menyampaikan, bahwa pihaknya mencoba mengcombine antara budaya masyarakat Tonsea melalui olahraga Golf, dimana di dalam Golf ini di tampilkan budaya-budaya Tonsea,mulai dari seri pertama, kedua dan ketiga, sehingga melalui olahraga Golf ini mereka mengenal budaya Tonsea.
“Jadi seperti misalnya opening ceremony kita tampilkan budaya kebesaran, juga kita tampilkan kolintang dan kita tampilkan tarian maengket yang di mana setiap kali turnamen golf itu opening ceremony nya. Pukul bola langsung main, tetapi di kali ini, karena tema nya budaya yang mempersatukan kita maka di kolaborasikan dengan budaya. Sehingga mereka yang main ini adalah bukan orang Indonesia semua bukan orang Manado semua, kebanyakan yang main adalah dari luar Manado sehingga melalui penampilan-penampilan budaya sebelum main ini mereka bisa mengenal apa itu budaya bangsa, walaupun itu tidak semua budaya , hanya kebesaran, kolintang dan maengket, tetapi harapannya nanti ke depan lagi kita akan tampil akan, kita akan gali budaya-budaya lain yang akan kita usung kira-kira begitu,” jelas Tonny.
Tonny menjelaskan, kegiatan ini memiliki tiga series, di tahun 2017 mengusung kebesaran- kebesaran, tahun 2018 mengusung budaya dan tahun 2019 ini adalah seri terakhir dari 3 series adalah Tarian Maengket dan langsung tiga series ini selesai.
“Saya sampaikan bahwa di series pertama dan kedua kita pakai hanya 2 lapangan di seri ketiga ini kita pakai 3 lapangan. Kenapa 3 lapangan? Karena ini adalah series gabungan- gabungan dari tiga budaya itu yang kita gabung di dalam series ketiga ini, sehingga kita pakai 3 lapangan,” kata Tonny.
Peserta pada saat hari ini adalah sejumlah 170 orang dengan memakai tiga lapangan yang berada ini adalah 3 Course River dan prinsip ini kita juga menyiapkan luar biasa, ada 5 mobil dan hadiah Full in One, mobil Mercedez Benz, Mitsubishi Pajero Sport, Fortuner dan Mitsubishi Xpander. Satu hal lagi adalah cash money sebesar 100 juta jadi ada 60 in one yang kita siapkan, selain Hole in one ini ada Grand Lucky draw yang kita siapkan, juga ada 3 unit motor juga ada juga Lucky draw Lucky draw 3 unit sepeda dan ada banyak alat-alat elektronik lain,” ujarnya.
Pertandingan ini tadi pagi telah dibuka Ketua Umum Paempulan Ne Tonsea, Marsma TNI Jorry S Koloay SIP M Han pukul 06.30 WIB. Pada acara puncak akan kemas secara umum diantaranya pengumuman pemenang dan pemberian hadiah piala kepada pemenang, berikut hadiah piala bergilir dan nanti di acara itu juga akan diserahkan dengan cara mengundi 3 unit sepeda motor.
Selain itu, ada juga Lucky draw dan Lucky dip yang sebagian sudah diserahkan dilapangan pada saat permainan golf dengan cara mencabut undian dan mereka akan mendapatkan hadiah masing-masing sesuai dengan keberuntungan masing-masing.
“Jadi Lucky dip dan Lucky draw yang kami siapkan di bawah itu ada sejumlah mungkin ada 890 lucky dip dan Lucky draw,” ucap Tonny.
Ketua Bidang Budaya Tonsea, Johny Politon, menjelaskan, perkumpulan Tonsea mengambil tag line budaya, karena dalam perkembangannya, pergaulan generasi muda sekarang ini yang dikenal dengan generasi revolusi industri 4.0, itu sudah budaya kita, sudah mulai ditinggalkan, karena pengaruh modernisasi teknologi dan macam-macam tentunya dan hal ini sangatlah disayangkan.
“Budaya itu yang kita punya, identitas sebenarnya itu, kemudian hilang dasar pemikiran, kita kemudian memfokuskan organisasi arahnya lebih cenderung dengan mengangkat budaya. Jadi kita mengangkat budaya sebagai tujuan dari organisasi ini dalam satu periode ini semuanya sudah dibentuk dari segi atau penggantian pengurus dan sekarang dengan pengurus yang ada untuk periode 2016-2020 kita mengangkat budaya dengan dasar pemikiran bahwa jangan sampai budaya kita sendiri atau identitas kita sendiri hilang karena pengaruh dari teknologi atau perkembangan pergaulan masyarakat yang dikenal dengan masyarakat revolusi industri 4.0,” kata Johny.
“Nah, itulah makanya kita bikin acara ini dalam rangka mengangkat budaya kita, tentunya kita membutuh dana. Maka kita buat event-event gold charity artinya kita dapat dana sedikit untuk membantu program ini, dan hasil dari ini kemudian kita bikin lagi acara yang lain yang sangat kental dengan budaya seperti acara kebesaran, olahraga tradisional, pertunjukan atau pertandingan dan permainan-permainan asli dari daerah daerah tonsea,” kata Johny didampingi Ketua Bidang Musik Mauritz Tumandung dan Pendeta Herman R dari Bidang Kerohanian.
“Rencana kedepan, yang ke-4 kita akan mengangkat lagi rumah adat, karena ada rumah adat yang sudah hampir hilang, kita mau coba mempertahankan yang masih ada rumah adat masih asli itu akan kita pertahankan dan akan ada rencana kalau ada rumah asli Minahasa yang masih asli yang sudah di atas umur 50 tahun, harus kita beli dan dijadikan museum.Kalaupun itu disumbangkan oleh si pemilik kepada pemerintah daerah atau kepada organisasi- organisasi kita, tapi itu tetap akan menjadi aset bagi masyarakat adat itu yang masuk ke program selanjutnya dari perkumpulan Tonsea. Jadi semua fokusnya ke budaya,” demikian dikatakan Johny.(MRZ)