Setahun memimpin provinsi Banten, Rano Karno mengaku menghadapi banyak rintangan, bahkan ancaman. Hal itu diungkapkan pada pertemuan para aktivis dan relawan anti-dinasti korup di Ciputat, Tangerang Selatan (1/10/2016).
Tidak mudah menjadi pemimpin di Banten, provinsi yang sejak berdirinya tak lepas dirundung isu korupsi, mesin birokrasi yang macet, dan pembangunan yang nyaris tak bergerak. Di Banten, wilayah yang memiliki jejak peradaban jauh sebelum Indonesia ada ini, kekuasaan ada di tangan segelintir orang yang dikendalikan berdasarkan pertalian darah. Kekuasaan ala mafia don Corleone. Hampir semua posisi kekuasaan strategis ada di tangan satu kerabat. Kekuasaan kekerabatan ini dikenal dengan istilah politik dinasti.
Baru setahun terakhir ini kekuasaan puncak di Banten dipegang oleh non-dinasti. Rano Karno dilantik menjadi Gubernur Banten pada Oktober 2015 menggantikan posisi Ratu Atut Chosiah yang dijebloskan ke dalam penjara untuk kasus korupsi.
Sejak dilantik menjadi orang nomor satu Banten, Rano Karno bergerak cepat melakukan pembenahan. Tantangan terberat yang ia hadapi adalah budaya birokrasi paternalistik dan korup. Politik begitu dalam masuk ke jaringan birokrasi. Birokrasi tidak bekerja dalam kerangka pelayanan dan pengabdian publik, tapi lebih banyak menunggu titah dan perintah para patron politik.
Dalam situasi itu, Rano melakukan ikhtiar perubahan setahun terakhir. “Kalau saya nggak gebrak meja, tidak mungkin pembangunan jalan Saketi-Malimping itu terlaksana. Sudah sekian tahun masyarakat selatan menderita ketertinggalan,” tegas Rano Karno.
Salah satu upaya serius yang dilakukan Rano Karno untuk mempercepat kebangkitan provinsi yang lahir tahun 2000 ini adalah meningkatkan pembangunan infrastruktur. Rano Karno secara langsung mendesak pemerintah pusat melalui prisiden Jokowi untuk menempatkan pembangunan infrastruktur strategis di wilayah Banten. Hasilnya, 12 proyek insfrastruktur nasional dilakukan di Banten.
“Saya minta pada presiden untuk memberikan 12 proyek nasional. Tahun ini tol Serang-Panimbang. 4 jalan tol, 2 bendungan, 2 bandara, Soeta dan Panimbang,” jelas Rano kepada warga.
Selain pembangunan infrastruktur, Rano Karno juga secara khusus meminta KPK masuk ke Banten untuk mengawasi para pemangku kebijakan dan public servants. Alhasil, saat ini KPK membuka kantor di Serang.
Komitmen Rano Karno melawan korupsi dan politik dinasti di wilayahnya juga dibuktikan dalam proses pencarian calon wakil gubernur yang akan mendampinginya pada Pilkada 2017. Secara sadar ia menyingkirkan semua calon potensial yang berasal dari kerabat dinasti ataupun mereka yang memiliki kedekatan dengannya. Rano kemudian memilih Haji Embay Mulya Syarif. Haji Embay adalah salah satu pendiri Provinsi Banten.
Menolak calon dari kerabat dinasti dan pendukungnya bukan perkara mudah. Dalam acara pengumuman calon-calon gubernur dan wakil gubernur yang diadakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan beberapa waktu lalu, H. Embay tidak ikut diumumkan sebagai Cawagub.
Rano Karno bercerita, “Malam itu ada kelompok yang ingin mengajukan calon Wagub dari keluarga dinasti”. Permintaan ini ditolak secara tegas oleh Rano.
“Kalau harus gabung dengan mereka, lebih baik saya mundur, lebih baik saya tidak jadi gubernur. Lebih baik kembali jadi supir oplet,” kenangnya.
Rano Karno mengaku sangat sadar tentang risiko yang ia hadapi, tapi dia tak surut. “Saya wakafkan nyawa saya untuk Banten,” ungkapnya.
Lebih jauh Rano menjelaskan bahwa dalam kalkulasi politik biasa, seharusnya dia memilih calon wakil yang bisa membantu pendanaan kampanye. Walaupun dia dan calon wakilnya sama-sama tidak punya dana besar, tapi dia percaya pada niat baik yang mereka bawa.
“Saya tidak punya uang. Wakil saya tidak punya uang, tapi kita semua punya keinginan. Keinginan untuk mengubah Banten,” tandasnya. (Abi)