Oleh: Ahmad Fauzi HG, S.Pd.I at_tingsily
Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu *bertaqwa*”. ( QS. Al-Baqarah 183 )
Kata tattaqun adalah bentuk jadian dari kata dasar waqaa ( وقى ), yang artinya melindungi, menjaga atau menutupi, memproteksi ; yang mengikuti wazan ifta’ala ( افتعل ).
Maka Aslinya ittaqa-yattaqi
(اتقى يتقي ),
yang asalnya iwtaqa-yawtaqi
(اوتقى يوتقي ).
Maka وقى adalah binâ’ lafîf mafrûq yaitu kalimat yang terdiri dari dua huruf ‘illat yang terpisah.
Kemudian huruf wawu di dalamnya dimasukkan ke dalam ta’ agar mudah diucapkan.
Dalam Ilmu Shorof, salah satu makna dari bentuk jadian yang mengikuti pola ini disebut *muthawwa’ah*, yakni menunjukkan akibat dari suatu perbuatan sesuai dengan apa yang disebutkan dalam kata dasarnya. Ex : waqaytu nafsi fattaqa
( وقيت نفسي فاتقى ),
artinya : saya menjaga diri saya, maka diri saya pun terjaga.
Inilah pengertian asal dari taqwa, yaitu menjaga, melindungi atau memproteksi diri sendiri.
Salah satu bentuk turunan waqaa,
وقى يَقَِى وِقَايَةً ومَوْقًَى فهو وَاقٍ وذاك مَوْقَِىٌّ قِ لاتَقِ مَوْقَى مِيْقًَ
yang memiliki pengertian “perisai”, dan itulah hakikat taqwa.
Lihat juga QS. At-tahrim ayat 6.
Jika sebagian ulama’ mendefinisikan *taqwa* adalah :
*امتثال اوامر الله واجتناب نواهيه*
“Menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-larangan-Nya”, maka ini adalah pendefinisian sesuatu dengan konsekuensinya.
Artinya, ketika seseorang ingin melindungi dirinya sendiri dari kemurkaan Allah, maka tidak ada jalan lain baginya selain mentaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jadi Taqwa itu bukan “orang batak dan jawa” atau “kepala botak dijitak ketawa”, apalagi “takut sama istri tua”.
Terkadang, kata *taqwa* juga diartikan sebagai takut. Ini sesungguhnya merupakan pendefinisian sesuatu dengan penyebabnya.
Artinya, seseorang harus melindungi dirinya dari murka dan hukuman Allah karena dia merasa takut kepadanya.
Tentu saja, kalau seseorang tidak merasa takut dan khawatir terhadap sesuatu, ia tidak akan mempersiapkan perlindungan apapun.
Maka perintah Allah untuk berpuasa pada hakikat nya adalah untuk memproteksi manusia dari Siksa-nya.
Puasa itu sejatinya adalah *menahan* untuk kemudian mengendalikan/mengontrol, menahan yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan pahala puasa maupun hal-hal yang dapat membatalkan puasa itu sendiri, baik lahiriyah maupun bathiniyah. *Mengendalikan*adalah mengontrol hawa nafsu dan “merasa” apa yg dirasakan kaum dhuafa dan fakir miskin.
Celakanya, Ramadan justru faktisitasnya menjadi ritus menunda hawa nafsu. Tingkat konsumsi semakin meninggi dan menghilang, manusia kemudian mengukur pendapatan pahala berdasar indikator transaksional. Bahkan hari raya kemenangan pun juga dirayakan sebagai ritus pameran kemewahan, kesuksesan.
Sebeginikah Ramadan kita?
Maka selepas ramadhan, sejatinya kita sudah bisa membentengi, memproteksi diri kita dari hal-hal yang kecil maupun yang besar yang bersifat maksiat kepada Allah SWT.
Mudah-mudahan Puasa yang kita lakukan, Berlandaskan iman dan mengharapkan keridhoan Allah SWT semata. Amin.
Share kebaikanmu atas dasar ini:
“Barang siapa yang menunjukkan suatu kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang melakukannya”. HR. Imam Muslim. (*)