Oleh: M. Fazwan Wasahua, Ketua Human Illumination Cabang Tangerang Raya.
Riak-riak Pilkada semakin riuh begitu ramainya. Analisa para pengamat bertaburan dimana-mana. Lewat jejaring media sosial, berita, dan berbagai diskusi publik. Semua mata, telinga dan pikiran tertuju kepada Pilkada DKI. Apakah kali ini soal DKI hanya soal pergantian gubernur, ataukah ini soal semakin berkuasanya para cukong dan kapitalis yang ikut sibuk bermain dan bahkan menggelontorkan dana raksasanya untuk memenangkan para kandidat dukungannya?
Tidak, pertarungan pada pilkada kali ini bukan hanya tentang gengsi pribumi dan non pribumi. Bukan pula sekadar soal siapa yang bersungguh diri cinta republik. Ini bukan pula soal perbedaan agama, juga soal pluralitas atau eksklusifitas kelompok aliran dan lain sebagainya. Namun, di atas segalanya itu, ini adalah tentang perlawanan terhadap para cukong dan kapitalisme yang kian merajalelanya. Ini juga adalah pertarungan terhadap sifat dan sikap feodalisme yang sedang naik!
Ya, ini adalah soal perlawanan terhadap segelintir orang yang menguasai hampir 90% aset, mulai dari tanah dan bangunan di atasnya di ibu kota negara! Ini juga adalah perlawanan terhadap kaum feodalis yang berlagak terhormat, mulia dan sok ningrat berdarah biru layaknya kaum ‘adiwangsa’. Siapa yang menutup mata akan hal itu pada akhirnya akan menyesal. Dan mereka harus bertanggung jawab, apabila rakyat kian melarat dan mati dalam kesengsaraan.
Bukan Pertarungan Rakyat
Semakin tampak bahwa pertarungan kali ini bukan antara rakyat dengan feodalis, atau kekuasaan yang rakus, atau juga kapitalisme. Akan tetapi, pertarungan kali ini adalah neo-feodalisme melawan neo-kapitalisme. Rakyat boleh dikatakan hanya dijadikan sebagai alat penghasil suara. Rakyat hanya dijadikan sebagai konsumen dalam riak-riak pilkada kali ini, dan bahkan seperti biasanya.
Apakah rakyat mengerti dan paham seperti apa dan bagaimana kekuasaan selama ini mereka pergelirkan diantara mereka? Tidak! Rakyat selalu di bohongi dengan janji-janji omong kosong! Ya, ini bukan pertarungan rakyat. Ini pertarungan segelintir elite yang sedang menjaga dan memperjuangkan egoisme dan gengsi pribadi, keluarga dan kelompoknya!
Lihat saja, bakal calon yang mereka, dari sisi yang kaum neo-feodalis usung tidak sama sekali melihat aspirasi masyarakat secara utuh. Mereka hanya melihat aspirasi sebagian kelompoknya, komunitasnya dan sanak kroni-kroninya. Disisi lain, kaum neo-kapitalis, kendati menggandeng dengan mesra barisan yang ‘katanya’ nasionalis, begitu mempropagandakan dengan sedemikian hebatnya bahwa calon mereka itu adalah calon yang pro rakyat, dengan segala elektabilitas dan popularitas melangit.
Tapi suka atau tidak suka, rakyat pada akhirnya akan di korbankan. Mereka yang memutus, kemudian menyuruh rakyat memilih apa yang tidak mereka sukai dan inginkan!
Kehilangan Nalar
Berfikirkah dan merenungkah kita tentang pesan-pesan Bung Karno! Bahwa perjuangan bangsa kedepan (saat ini) adalah perjuangan melawan bangsanya sendiri.
Bangsanya yang telah menjelma menjadi kaum modal, kaum kapitalis yang saban hari mengeksploitasi kehidupan rakyat dengan begitu bengisnya! Pesan Bung Karno yang berkata jangan pernah mau percaya kepada asing, apalagi mau di cecoki dengan ekonomi pembangunan ala keynes! Pesan Bung Karno bahwa “cita-cita masyarakat adil makmur hanya dapat terwujud apabila alat-alat industri, alat-alat produksi tidak di kuasai oleh sistem kapitalisme”.
Selama alat-alat industri dan produksi masih dikuasi oleh asing, aseng dan asong (neokapitalisme), maka selama itu pula modal tidak akan pernah dimiliki rakyat. Dan apabila hal demikian itu terjadi, maka selamanya kita akan di dikte oleh kepetingan asing, aseng dan asong! Apakah kita sedemikian kehilangan nalar kebangsaan, yang menghendaki perwujudan cita-cita kemerdekaan bangsa dan negara kita.
Sehingga kita lupa bahwa tanah kita bukan milik kita lagi. Saham-saham kita, khusuanya ibubkota negara, jakarta, sebanyak 70% telah dikuasai oleh asing, aseng dan asong itu! Dan parahnya elite-elite kita yang secara tidak sadar telah menjelma sebagai neo-feodalis itu justru menghamba dan membeo dibawah ketiak neo-kapitalisme itu! Sudah lupakah kita bahwa segala alat industri, produksi dan distribusi bahan-bahan dasar dan pokok untuk menghidupi kehidupan dan aktifitas kita di jakarta telah di kuasai oleh asing, aseng dan asong!
Sudah lupakah kita, bahwa modal terbesar untuk membiayai ibu kota negara bukan lagi datang dari Anggaran Rakyat, melainkan menggunakan anggaran asing, aseng dan asong! Ya, sebagian kita telah kehilangan akal sehatnya. Telah membuang nalarnya diatas tumpukan uang, dan atau mereka terlalu naif untuk menerima kenyataan ini!
Eksklusifitas Elite Adalah Feodalisme Gaya Baru
Ketika rakyat hanya dijadikan barisan terkahir dalam mengambil keputusan. Ketika suara rakyat tak lebih dari pelengkap kebijakan, maka saat itulah demokrasi telah mati! Dan, ketika para elite semakin ‘sok’ elitis, serta mempertontonkan lagaknya bak kaum bangsawan yang harus di hormati, di dengar dan bahkan harus di patuhi semua omongan-omongannya, dan ketika mereka semakin eksklusif memisahkan dirinya dari kehidupan rakyat, dan mereka semakin terjebak dalam zona nyaman kenikmatan kekuasaan dalam bentuk apapun, maka saat itulah Feodalisme Gaya Baru sedang menaik.
Feodalisme Gaya Baru sedang muncul dan lahir kembali. Hal ini kusebut sebagai Neo-Feodalisme! Sifat Neo-Feodalis ini, seperti halnya feodalisme tua, mereka haus di puja, di turuti dan bahkan di jilati. Mereka tidak peduli kesengsaraan rakyat. Pokoknya mereka harus tetap terhormat duduk di singgasana mahligai nama besarnya yang di peroleh dari darah dan air mata seluruh rakyat indonesia! Semua ini sesungguhnya sedang terjadi disekitar kita.
Ia nyata, dan ia sedang merongrong dan bahkan merusak prinsip-prinsip demokrasi yang berusaha kita perjuangkan! Dan aku melihat praktik inilah yang sedang terjadi di Pilkada DKI kali ini. Mereka, kaum neo-feodalis ini tidak sadar, bahwa apa yang mereka lakukan tidak ada bedanya dengan apa yang di lakukan oleh para raja-raja nusantara dahulu, yang dengan kebodohan dan kelalaiannya telah memberi jalan masuk bagi proses penjajahan di bumi nusantara!
Mereka kira kapitalisme dan juga feodalisme adalah sifat dan sikap yang hanya berlaku secara periodik zaman. Namun apakah mereka lupa, bahwa sejarah selalu berulang dengan gayanya yang baru. Sesungguhnya, apabila kelak rakyat akan hidup melarat dan mati dalam kesengsaraan, maka mereka, kaum neo-feodalis yang mengaku kaum demokrat inilah yang harus bertanggung jawab!
Kita Harus Sadar!
Apabila kondisi seperti diatas terus menerus terjadi, dan kita tidak segera sadar untuk keluar dari cengkraman itu, maka sudah pasti, masa depan indonesia adalah penjajahan dalam bentuk baru, yaitu neo-imperialisme sebagaiman Bung karno katakan. Aku tidak ingin menjelaskan panjang lebar apa dan seperti apa itu neo-kapitalisme. Karena saya yakin pembaca yang budiman telah memahaminya.
Tapi ingin ku ingatkan dan tegaskan, bahwa kapitalisme bahkan ketika ia menjelma sekalipun menjadi imperialisme, tak dapat terlaksana dan berjalan mulus di suatu negara, apabila tidak bekerjasama dengan kaum feodalis (pengkhianat) di negara tersebut! Itulah rumus sederhana bercokolnya neo-kapitalisme di muka bumi ini. Maka perkwainan antara neo-feodalisme dan neo-kapitalisme adalah kehancuran bagi masa depan Bangsa dan Negara Indonesia.
Bagi peradaban kita! Oleh karena itu, marilah kita lekas-lekas sadar, bahwa Pilkada DKI kali ini bukan hanya sekadar perdebatan agama, etnis, aliran mazhan, pribumi atau bukan pribumi. Tapi ini adalah soal masa depan Bangsa Indonesia yang Ibu Kota Negaranya sedang ingin dikuasai oleh mereka, kaum Asing, Aseng dan Asong (Neo-Kapitalisme), yang bekerjasama dengan Neo-Feodalisme Bangsa sendiri. Dan pada akhirnya, bukanlah rakyat yang menang. Sebab ini bukan pertarungan rakyat! Tapi mereka, antara Neo-Kapitalisme vs Neo-Feodalisme itu sendiri! Salam Peradaban. (*)
Gan ketua ilumimatio Tanggerang ya?